KIPRAH KH ABDUL KARIM LIRBOYO
KIPRAH KH ABDUL KARIM LIRBOYO
Oleh : Wasis Budiarto
Sebagai seorang santri sudah
kewajiban kita untuk selalu meneladani kiprah para kyai yang sudah terlebih
dahulu melakukan perjuangan di tengah-tengah masyarakat dalam menyiarkan agama
islam. Walaupun dengan zaman yang berbeda, tapi tentunya masih mempunyai tujuan
yang sama yaitu memberi manfaat bagi masyarakat. kali ini kita akan meneladani
kiprah seorang kyai yang harum namanya yaitu KH Abdul Karim Lirboyo.
Benar kiranya pepatah yang
mengatakan, semakin luas ilmu seseorang, maka seorang murid terlihat kiai
fakir. Ada pepatah lain menjelaskan bahwa mencari ilmu seperti menggali sumur.
Semakin digali, maka kian ingin menggali lebih dalam. Tidak ada habisnya.
Hal ini sangat cocok dalam sosok
KH Abdul Karim Lirboyo, pendiri pondok yang berlokasi di utara terminal Kota
Kediri ini. Berikut catatan yang diambil dari buku karangan Thom Afandi: Ngopi
di Pesantren. Renungan Kisah Inspiratif Santri dan Kyai. Buku diterbitkan oleh
Santri Salaf Press.
KH Abdul Karim tercatat melakukan
pengembaraan ilmu berpuluh tahun. Mulai dari Pesantren Trayang Bangsri
Kertosono Nganjuk, Pesantren Sono Sidoarjo, Pesantren Kedungdoro, Surabaya, dan
menimba ilmu ke Syaikhana Kholil Bangkalan.
Bahkan di pesantren terakhir,
mondoknya cukup lama yakni selama 23 tahun. Setelah dirasa cukup, Syaikhana
Kholil berkata pada Kang Manab, nama KH Abdul Karim pada masa nyantri: “Wes
kang Manab, ngelmuku wes tak ke’ne kabeh, wes ra enek sing iso tak ke’ne,”
(Sudah Kang Manab, ilmuku sudah saya berikan semua, tidak ada lagi yang bisa
saya sampaikan).
Secara implisit berarti sang guru
menghendaki kepada murid untuk mencari ilmu di tempat lain. Lalu Kang Manab
menuju Jombang. Di Tebuireng, ada temannya yang sudah dikenal sebagai ulama
yang alim hadist yaitu KH M Hasyim Asy’ari. Mbah Manab selain ngangsu kaweruh,
juga ikut membantu mengajar.
Suatu ketika Syaikhana Kholil
didatangi temannya sewaktu di Ngelom Sepanjang. Saat beliau nyantri kepada
Syaikh Bahauddin, yaitu Kiai Sholeh dari Bandar Kediri.
“Kang aku ngimpi, mambengi kene
enek jago yo?” (Kang tadi malam aku bermimpi, tadi malam di sini ada ayam jago
ya?) ucapnya.
“O. . . yo iki nang Tebuireng,
nang gone Kang Hasyim” (Oh ya, itu di Tebuireng sekarang, di tempatnya Kang
Hasyim), jawab Mbah Kholil.
Setelah itu, KH Sholeh Bandar
Kediri menuju Tebuireng Jombang. “Aku sowan karo Mbah Kholil golek mantu, jare
mantuku nang kene!” (Saya silaturahim kepada Mbah Kholil, mencari menantu.
Katanya menantuku di sini), ucap Mbah Sholeh kepada Kiai M Hasyim Asy’ari.
“O. . njeh” (O. . Iya), ucap Kiai
Hasyim.
Beliau langsung menemui Kang
Manab.
“Iki enek wong golek mantu,
awakmu. Wes saiki tak ijabi” (Ini ada orang mencari menantu. Sudah kamu
sekarang saya ijab-i) Di tempat itu juga
Kiai Hasyim mengijabi Kang Manab. Sedangkang Kang Manab belum tahu menahu,
apalagi kenal dengan calon pendamping hidupnya.
Setelah dibawa ke rumah mertua,
calon istri beliau (Kang Manab) ialah Nyai Khodijah. Baru berusia 13 tahun,
sedang Kang Manab sudah berusia 40 tahun.
Namun, begitulah pernikahan yang
berkah. Melahirkan nasab emas yakni generasi ta’lim wa ta’alluman sekaligus
mencetak puluhan ribu santri.
Sumber : https://jatim.nu.or.id/read/meneladani-sosok-dan-kiprah-kh-abdul-karim-lirboyo
Komentar
Posting Komentar